Saya tidak cukup yakin bahwa kita semua yang bertempat tinggal di
Indonesia, paham mengenai institusi pesantren, serta bagaimana
sebenarnya pesantren sudah sangat dekat (tidak hanya kedekatan jarak)
terhadap keseharian kita.
Berawal dari kebutuhan “cangkul-mencangkul” di “sawah”, akhirnya saya
terdampar untuk melakukan riset sekunder mengenai sejarah dan
keberadaan institusi pesantren. Sebelumnya saya memohon maaf karena
tulisan ini tidak panjang-panjang amat, malah pendek sekali. Bahkan
menyentuh ribuan kosakata pun tidak. Jadi mungkin belum cukup
komprehensif.
Sejarah Pesantren
Secara definitif, KH. Imam Zarkasyi (satu dari tiga
pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor bersama KH. Ahmad Sahal, dan KH.
Zainuddin Fananie), mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur
sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan
pengajaran agama Islam dibawah bimbingan kyai yang diikuti santri
sebagai kegiatan utamanya.
Institusi pendidikan pesantren, berikut dengan alumninya, turut serta
mengambil bagian dalam sejarah perjuangan dan pertahanan kemerdekaan
Republik Indonesia. Untuk yang belum mengetahui, sesungguhnya peristiwa
10 November 1945 tidak lepas dari peran pesantren, santri, dan alumni.
Betapa semangat berkobar-kobar memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan
merupakan
realisasi dari proses pembentukan karakter di institusi pesantren.
Namun demikian, dengan berbagai dinamika yang ada, bila dibandingkan
dengan periode di mana pesantren Gontor baru berdiri, yaitu lebih dari
satu abad yang lalu, (persisnya tahun 1926 Masehi) kini pesantren juga
turut berbenah dan berubah demi mengikuti pesatnya perkembangan
zaman. Alasannya jelas.
Modernisasi Pesantren
Dunia yang terus berevolusi menjadi semakin beragam dan bervariasi,
menjadikan tantangan berdakwah semakin berat. Pesantren sudah sejak lama
menyadari dan memahami betul bahwa sebagai institusi pendidikan,
pesantren harus bisa ikut berselancar dalam gelombang
perubahan-perubahan tersebut.
Perilaku dan pengetahuan seputar keagamaan saja tidak akan cukup
untuk mengarungi derasnya kehidupan pasca pesantren. Akhirnya
bertambahlah ilmu-ilmu seputar sains, teknologi, bisnis, bahasa, dan
kewirausahaan ke dalam pola pendidikan dan kurikulum pesantren.
Sejak itu lahirlah terminologi
pesantren modern.
Namun, jangan disalahartikan. Karakter berbasis keislaman tetap
menjadi yang pertama dan utama, namun ilmu dan keterampilan seputar
sains, teknologi, bisnis, bahasa, kewirausahaan menjadi ilmu dan
keterampilan yang turut melengkapi profil alumni pesantren modern.
(Tanpa mengurangi rasa hormat pada pesantren-pesantren
tradisional (yaitu yang hanya memfokuskan pada pendidikan keagamaan dan
kehidupan), dikotomi pesantren modern dan pesantren tradisional ini
sesungguhnya hanyalah perspektif sejarah saja. Jangan pula disimpulkan
bahwa pesantren tradisional lebih buruk daripada pesantren modern.)
Bahkan santri turut mendapatkan berbagai program-program
ekstrakulikuler berupa kegiatan pramuka, latihan berpidato dalam tiga
bahasa (Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, dan Bahasa Inggris) serta
program-program lainnya.
Modernisasi pesantren sesungguhnya tidak hanya di tataran program,
bahkan formalisasi pendidikan pesantren menjadi seperti SD, SMP, MTs,
SMA, MA Plus Pesantren, tidak luput pula menjadi bagian dari agenda
perubahan-perubahan internal di institusi pesantren.
Apa saja yang diperoleh dari pendidikan di Pesantren?
Pertama.
Iya, pastinya banyak belajar ilmu agama. Tapi ilmu apa aja yang
dipelajari? Yaitu, pelajaran-pelajaran pokok, seperti bahasa arab,
kitab, hadits, tafsir (cara menafsirkan), akhlak (budaya dan perilaku),
siroh (sejarah Islam), ilmu alat, dan masih banyak lagi.
Metode yang digunakan tidak hanya melalui pembelajaran di kelas,
tetapi juga melalui kegiatan dan pembiasaan. Misalnya shalat wajib di
masjid, kegiatan belajar kelompok bersama ustadz, dan lain sebagainya.
Tujuannya adalah melatih disiplin dan konsistensi dalam menjalankan
amalan ibadah.
Selama menempuh pendidikan di pesantren, ada juga penekanan pada
nilai-nilai kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian
diri dari hawa nafsu. Ini adalah pembentukan mental, yang biasanya
dilakukan melalui bimbingan langsung pada kelompok belajar di malam
hari.
Kedua.
Pesantren telah, sedang, dan akan terus berperan sebagai wahana
berinteraksi dengan banyak teman dari berbagai daerah dan suku. Tentu
ini sangat menunjang kebutuhan para santri/santriwati akan jaringan atau
relasi nanti ketika sudah lulus dari pesantren.
Dalam hal ini, santri — yang di kemudian hari akan menjadi alumni –
akan banyak mempunyai jaringan atau relasi dari berbagai daerah, luar
pulau bahkan dari luar negeri. Dan itulah yang di kemudian hari akan
menjadi salah satu modal dalam menapaki tangga karir.
Sekedar contoh, Menteri Agama kita saat ini, yakni Bapak
Lukman Hakim Saifuddin. Beliau adalah alumni dari pesantren Gontor di Ponorogo.
Atau Bapak
Hidayat Nur Wahid.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang ke-11, menjabat sejak
Oktober 2004 sampai dengan Oktober 2009. Merupakan deklarator dan
Presiden Kedua Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sempat menjadi calon
Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2012.
Ketiga.
Secara singkat pesantren bisa juga dikatakan sebagai laboratorium
kehidupan, tempat para santri belajar hidup dan bermasyarakat dalam
berbagai segi dan aspeknya. Karena pesantren melatih hidup
mandiri. Santri harus menyelesaikan urusan pribadinya sendiri. Menjadwal
makannya sendiri. Cuci baju sendiri. Pendeknya, mengatur kehidupannya
sendiri.
Tak lengkap rasanya membahas sejarah pesantren, tanpa mengulas satu
contoh pesantren modern yang paling disegani dan dihormati. Yakni
pesantren Gontor.
Afiliasi dan “Keturunan” Pesantren Gontor.
Mengapa Gontor?
Ditinjau dari perspektif marketing (pemasaran), Gontor telah menjadi sebuah brand yang memberikan
promise
(janji) akan kualitas proses dan hasil pendidikannya. Dan tidak hanya
Gontor Ponorogo dan Ngawi yang demikian, namun berikut pula bersama
afiliasi dan keturunannya.
Jadi, saat ini pesantren Gontor sudah berafiliasi dengan banyak sekali pesantren-pesantren baru yang lebih muda usianya.
Belum termasuk “keturunan-keturunan” Gontor, yakni
pesantren-pesantren dengan “isi” dan “kemasan” yang relatif sama dengan
Gontor itu sendiri. Tidak lain dan tidak bukan karena didirikan oleh
alumni-alumni Gontor.
Misalnya ada pesantren La Tansa, yang pola pendidikan beserta kurikulumnya juga sudah sangat Gontor sekali. Atau di Medan ada
Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah. Ponpes yang terakhir disebut ini menjadi tempat berlangsungnya syuting film
Cahaya Cinta Pesantren (CCP).
Cahaya Cinta Pesantren
Film ini berangkat dari novel yang ditulis oleh guru matematika di
ponpes tersebut. Yaitu, Ibu Ira Madan. Beliau menuangkan pengalaman,
rasa cinta, dan kreativitasnya ke dalam sebuah novel yang diberi judul
sama. Hanya satu dan satu-satunya yang menjadi motivasi beliau adalah
kecintaan dan kebanggaan terhadap pesantren tempat beliau dulu belajar
tentang agama dan kehidupan.
Fokus cerita CCP ini ada pada tokoh Shila yang diperankan oleh artis
Yuki Kato.
Diceritakan bahwa dia bersahabat dekat dengan Manda (oleh Febby Blink),
Asiyah (Silvia Blink), dan Icut (Vebby Palwinta) selama menempuh
pendidikan di pesantren.
Tentu saja filmnya tidak hanya berpusat pada kehidupan Shila berikut
dengan tiga sahabat karibnya selama di pesantren. Melainkan betul-betul
mengeksplorasi kehidupan maupun pendidikan di pesantren.
Misalnya program belajar berpidato, kegiatan kepramukaan, belajar
bahasa di kelas formal, sampai dengan latihan beladiri, dan lain
sebagainya.
Mulai awal November 2016 nanti, film ini bisa kita saksikan di bioskop-bioskop langganan di kota tempat kita tinggal.
Produser, sutradara, dan penulis novel CCP, punya harapan tersendiri akan film ini.
Ketiganya berharap agar film ini sedikit menjawab keingintahuan dan
ketidaktahuan masyarakat kita mengenai kehidupan di pesantren.
Sebagaimana dipaparkan di awal, bahwa sepertinya masih banyak sekali di
masyarakat kita yang belum cukup mengetahui seperti apa jalannya
pendidikan di pesantren. Terutama bahwa pesantren tidak lagi mengungkung
para santri/santriwati dari perkembangan zaman.
Itu adalah satu segmen, masih ada satu segmen yang menjadi target.
Yakni, para alumni dari berbagai pondok pesantren di seluruh penjuru
Indonesia. Lewat film ini, juga berharap kenangan dan kerinduan akan
kehidupan pesantren yang dahulu pernah dijalani dengan segala suka dan
dukanya, segera tuntas terjawab.