Dikemas dalam penokohan yang kuat, alur cerita (plot) yang menarik, serta konflik yang berarti. Dilatarbelakangi dalam setting waktu dan ruang tertentu.
Novel-novel religi ini mengangkat aspek kehidupan umat manusia dalam hubungannya dengan Sang Pencipta. Aka nada banyak pesan-pesan yang bisa dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Semacam pengingat kembali terhadap ajaran Islam yang dianut oleh banyak masyarakat Indonesia.
Dan untuk kita semua ketahui, ternyata novel-novel Islami ini banyak dijadikan bahan penelitian skripsi di jurusan-jurusan sastra di Indonesia. Contohnya novel Ketika Cinta Bertasbih sebagai objek penelitian.
Apa temuan yang didapat dari riset tersebut? Misalnya, materi Iman kepada Allah sebagai satu dari “Enam Rukun Iman”. Atau misalnya tentang Ibadah, sebagai rumusan dari ajaran “Lima Rukun Islam”.
Belakangan novel-novel ini kemudian diangkat ke layar lebar. Tentu tidak semua novel. Melainkan novel yang diprediksi dapat terjual dan memberikan laba yang signifikan.
Namun demikian, semua ini tidak melulu mengenai komersialisasi. Tidak semua tentang cari untung sebesar-besarnya. Ada pesan-pesan dakwah yang ingin disampaikan oleh pihak penulis novel, juga production house (PH) selaku pembuat film.
Harapannya memang, adalah pembaca novel kemudian ikut menonton filmnya. Dan penonton filmnya kemudian ikut membeli novelnya. Ini berlaku untuk semua novel ya. Bukan hanya di novel islami saja.
Dakwah itu, bisa dianalogikan sebagai destinasi. Dengan novel atau film sebagai kendaraannya, dan laba (keuntungan) sebagai bensinnya.
Film/novel yang laku di pasaran, akan mendatangkan “bahan bakar” bagi penulis novel (seperti ustadz Habiburrahman El-Shirazy) atau production house (seperti Fullframe Pictures Indonesia yang memproduksi CCP) untuk terus berdakwah via kedua medium tersebut. Saya jadi teringat kutipan Walt Disney, sebagai berikut.
“Kami tidak membuat film untuk mendapat uang, tapi kami menghasilkan uang untuk membuat film lebih banyak lagi.” (Walt Disney).
Bicara novel dan film islami, boleh kita sebut beberapa judul, semisal, Ketika Cinta Bertasbih (KCB), Bulan Terbelah di Langit Amerika, Negeri 5 Menara, dan yang terakhir akan memasuki gedung bioskop adalah Cahaya Cinta Pesantren.
Kedua yang terakhir cukup menarik, mengingat protagonist-nya adalah para remaja. Dengan sendirinya, novel ini kemudian menyasar para remaja dan tidak lupa kehidupan religi remaja-remaja tersebut.
Film ini cocok untuk anda yang sudah menjadi orang tua. Mungkin pernah terbersit pikiran untuk menyekolahkan putra-putri di pesantren. Khususnya karena alasan pendidikan agama.
Namun, belum ada bayangan seperti apa pendidikan di pesantren? Nah, film ini menggambarkan setiap detil kehidupan di pondok pesantren secara jelas.
Atau, anda pernah mengenyam pendidikan di pesantren? Film ini juga cocok untuk Anda, karena membuat Anda bernostalgia dengan kehidupan di masa sekolah dulu. Apalagi bila membanding-bandingkan dengan seperti apa pondok pesantren modern saat ini.
Negeri 5 Menara bercerita tentang tokoh pria yang merantau jauh-jauh dari ranah minang untuk menempuh pendidikan di pondok pesantren (ponpes) putra di Ponorogo.
Sementara Cahaya Cinta Pesantren (CCP) berpusat pada tokoh perempuan yang menempuh pendidikan di sebuah ponpes putri di kota Medan. Di mana, pasca kelulusannya, tokoh ini turut berkehidupan di seputar ponpes tersebut.
Situasi social yang rumit misalnya, manakala ayah dari tokoh utama, yaitu Marshila Silalahi (Shila) di novel CCP, berpulang ke rahmatullah. Sementara Shila sendiri masih bersekolah di ponpes.
Atau, ketika Shila divonis menderita kanker otak, sementara ada risiko kegagalan operasi yang menghadang di depan mata.
Terus terang, saya antusias sekali dengan film seperti ini. Sebab mendeskripsikan bagaimana belajar tentang agama dan kehidupan di sekolah berasrama.
Tidak sabar menanti penayangan perdananya sejak awal November 2016 nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar