Jumat, 30 September 2016

Tabah Penemuan Main Film Religi Terbaru Cahaya Cinta Pesantren

                                         
Tabah Penemuan Main Film Religi Terbaru Cahaya Cinta Pesantren – Tabah Panemuan seorang artis senior yang telah banyak membintangi film ini tentu saja sudah tidak asing kan dengan ditelinga? Artis berdarah batak ini ikut berperan dalam film religi terbaru garapan dari Ustadz Yusuf Mansyur yang menggaet sutradara muda Raymond Handaya yang berjudul Cahaya Cinta Pesantren atau yang orang biasa menyebutnya dengan CCP.
Film religi yang akan dirilis beberapa waktu dekat, mengangkat Tabah Panemuan yang berperan sebagai seorang nelayan dan merupakan ayah dari shila yang diperankan oleh Yuki Kato. Danau Toba yang menjadi tempat syuting film religi ini menampilkan berbagai pemandangan seru dan menarik yang wajib Anda saksikan.
Tabah panemuan yang merupakan seorang artis senior artis asli batak memang merasa tidak kesulitan ketika memerankan seorang nelayan berlogat batak. Dalam film ini ia beradu acting juga dengan aktris senior Indonesia yaitu Elma Theana.
Meskipun Dia asli orang batak, namun tentu saja Dia tetap berlatih untuk menghasilkan acting yang maksimal dalam film ini. Hal inilah yang membuat film Cahaya Cinta Pesantren menjadi lebih banyak ditunggu khususnya untuk para fans dari Tabah Panemuan.
Bagi Anda fans dari Tabah Panemuan tentu saja tidak mau ketinggalan kan untuk menyaksikan film religi terbaru yang dibintangi olehnya ? Untuk itu, jangan lupa saksikan film yang diproduseri oleh Ustadz Yusuf Mansyur ini. Karena selain memberikan tontonan juga memberikan tuntunan yang bisa Anda ambil dari film ini. Selain tabah panemuan dan Elma Theana yang ikut berperan dalam film ini, Anda juga bisa menyaksikan aktris dan actor pendatang baru yang siap membuat Anda menjadi ikut terbawa suasana dalam film ini seperti Yuki Kato, Febby Blink, Sivia Blink, rizky febian, fachri Muhammad dan lain sebagainya.
Yuk mulai kepoin film ini, dijamin seru loh, ngga bakal nyesel deh. Buruan mulai aktif kapan sih waktu tayangnya. Jangan lupa saksikan yaa.

Kamis, 29 September 2016

BAHASA KARO BUKAN BAHASA BATAK

Mendapatkan peran sebagai seorang wanita Batak, dalam sebuah film religi, Yuki Kato mengungkapkan bahwa dirinya kesulitan untuk berbicara dengan dialek khas Batak.

Dalam peran tersebut, orang tuanya seorang Batak dan seorang Karo. Jadilah kita, para penonton, akan melihat secara langsung, bagaimana Bahasa Batak dan Bahasa Karo. Dua bahasa daerah yang tidak sama.
Pengalaman serupa, mengenai belajar bahasa Batak, juga dialami oleh artis lainnya. Yaitu Vino G Bastian, yang menjadi Jenderal Jamin Gintings (1921-1974) dalam film “3 Nafas Likas”.
Vino sampai melakukan riset untuk mengetahui perbedaan bahasa Karo dan bahasa Batak. Tidak lain dan tidak bukan, ini adalah tuntutan peran untuk berbahasa Karo.
Bahkan, bagi Vino, belajar bahasa Karo saja tidak cukup. Tetapi juga gesture Karo harus dipelajari.
Padahal bahasa Karo saja bukan hanya satu macam. Ada banyak sekali bahasa Karo, dengan perbedaan yang tidak sedikit di antaranya. Sebab itu, Vino akhirnya hanya menggunakan Bahasa Karo yang umum dipakai dan relatif sama.
Kenyataan ini disetujui pula oleh Yuki Kato yang bermain sebagai Shila dalam Cahaya Cinta Pesantren. Yang Yuki rasakan langsung, setiap orang di Medan logatnya berbeda-beda. Ternyata Batak banyak juga jenisnya, Yuki kemudian menyadari hal ini.
Bagaimana dengan artis yang berperan sebagai orang tua Shila di film CCP yang akan tayang mulai awal November 2016 nanti?
Ada Tabah Penemuan yang berperan sebagai Ayahnya Shila. Aktor berdarah Batak ini mulai dikenal oleh publik Indonesia sejak dekade tahun 1990an melalui berbagai sinetron yang dia perankan. Dalam film CCP, diceritakan bahwa peran Ayah Shila ini berbicara dalam bahasa Batak.
Tentu bukan sesuatu yang berat untuk Tabah, mengingat asal-usulnya sebagai keturunan Batak asli.
Tantangan lebih berat dialami oleh Artis yang berperan sebagai Ibu Shila, yaitu Elma Theana. Aktris kelahiran Jakarta seperti Elma Theana tentu harus mempelajari bahasa Karo secara seksama.
Kembali ke judul di atas.
Bahasa Karo adalah bahasa dari dan milik suku Karo. Suku yang jelas-jelas berbeda dari suku Batak. Jadi, Karo bukan Batak. Bahasa Karo juga berbeda dari bahasa Batak.
Siapa itu suku Karo?
Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini juga dijadikan salah satu nama kabupaten di wilayah yang mereka diami, yaitu Kabupaten Karo.
Demikian pula dengan Berastagi. Wilayah di Sumatera Utara ini, didiami bukanlah oleh orang Batak. Tetapi oleh mereka yang lebih senang disebut sebagai orang Karo.
Kalau di Medan, bila ada orang di luar Sumatera Utara yang bertanya tentang Kota Medan, maka pertama sekali yang mereka ingat adalah Batak. Padahal tidak hanya ada Batak di sana, melainkan juga Karo.
Sekedar contoh perbedaan bahasa Karo dengan bahasa Batak. Kalau mengatakan Iya atau Ya, bahasa Karo-nya adalah UWE<, sedangkan dalam bahasa Toba, adalah OLO. Contoh lain adalah horas sebagai bahasa Batak, dengan “Mejuah-Juah” adalah bahasa Karo. Horas dan mejuah-juah adalah bukti nyata bahwa ada perbedaan bahasa di antara kedua suku tersebut. Horas itu semacam “selamat datang” dalam Bahasa Indonesia. Demikian dua contoh tersebut. Dalam banyak hal kesamaan kosakata, perbedaan makna di antara keduanya berbeda signifikan. Bahkan kesalahartiannya dapat mengakibatkan salah faham. Kita bisa menikmati indahnya perbedaan kesukuan kita, salah satunya adalah antara Karo dengan Batak, melalui film Cahaya Cinta Pesantren.

Senin, 26 September 2016

Film tentang pesantren di indonesia

asantren Shila bersahabat dengan Manda (Febby Blink), Aisyah (Via Blink) dan Icut (Vebby Palwinta). Tapi dengan Manda, Shila merasa paling dekat. Karena keduanya tidak betah tinggal di pesantren tanpa sepengetahuan yang lain, keduanya pun kabur dari pesantren. Tapi takdir membawa mereka berdua kembali ke pesantren itu. Manda mantap untuk menjadi santri di situ. Tapi Shila, masih belum yakin.
Selain urusan pelajaran, sebagai gadis yang tengah puber, shila pun berurusan dengan perasaan. Ia jatuh hati pada Rifqy (Fachri Muhammad), santri senior. Shila berusaha menjalani kehidupan pesantren ditengah bermacam konflik. Mulai dari konflik yang membuat persahabatannya berantakan. “kepergian” orang yang ia sayangi, hingga ia sempat diancam akan dikeluarkan dari pesantren justru saat ia telah benar-benar jatuh hati pada pesantren itu. Dan Shila berhasil melalui itu semua, karena pesan ayahnya sebelum ia berangkat ke pesantren; “Kalau kita mencintai segala sesuatu karena Allah, maka kita tidak akan pernah kenal yang namanya kecewa atau sakit hati”
Inilah Film tentang pendidikan, sosial dan cinta. Cerita keluarga, Persahabatan, romantisme dan seluk beluk anak-anak muda yang menempuh pendidikan di pesantren. Hal ini divisualkan dalam gambar-gambar yang dinamis, membentuk mosaik yang jalin menjalin.
Setting waktu dan lokasi, dibalut dalam sinematografi yang indah membuat dramatis film ini begitu menyentuh dan bermakna. Ditambah oleh unsur pariwisata dimana dalam film ini terdapat adegan silat lokal dan lokasi syuting di medan dan danau Toba.

Jumat, 23 September 2016

Visualisasi Novel Religi Yang Ditunggu Banyak Orang Indonesia

Novel adalah karya sastra yang memberikan pesan yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Namun tidak disampaikan secara lugas. Melainkan melalui deskripsi dan dialog yang ditunjukkan lewat sikap, tingkah laku dan pandangan hidup tokoh-tokohnya dalam sebuah karya sastra.
Dikemas dalam penokohan yang kuat, alur cerita (plot) yang menarik, serta konflik yang berarti. Dilatarbelakangi dalam setting waktu dan ruang tertentu.
Novel-novel religi ini mengangkat aspek kehidupan umat manusia dalam hubungannya dengan Sang Pencipta. Aka nada banyak pesan-pesan yang bisa dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Semacam pengingat kembali terhadap ajaran Islam yang dianut oleh banyak masyarakat Indonesia.
Dan untuk kita semua ketahui, ternyata novel-novel Islami ini banyak dijadikan bahan penelitian skripsi di jurusan-jurusan sastra di Indonesia. Contohnya novel Ketika Cinta Bertasbih sebagai objek penelitian.
Apa temuan yang didapat dari riset tersebut? Misalnya, materi Iman kepada Allah sebagai satu dari “Enam Rukun Iman”. Atau misalnya tentang Ibadah, sebagai rumusan dari ajaran “Lima Rukun Islam”.
Belakangan novel-novel ini kemudian diangkat ke layar lebar. Tentu tidak semua novel. Melainkan novel yang diprediksi dapat terjual dan memberikan laba yang signifikan.
Namun demikian, semua ini tidak melulu mengenai komersialisasi. Tidak semua tentang cari untung sebesar-besarnya. Ada pesan-pesan dakwah yang ingin disampaikan oleh pihak penulis novel, juga production house (PH) selaku pembuat film.
Harapannya memang, adalah pembaca novel kemudian ikut menonton filmnya. Dan penonton filmnya kemudian ikut membeli novelnya. Ini berlaku untuk semua novel ya. Bukan hanya di novel islami saja.
Dakwah itu, bisa dianalogikan sebagai destinasi. Dengan novel atau film sebagai kendaraannya, dan laba (keuntungan) sebagai bensinnya.
Film/novel yang laku di pasaran, akan mendatangkan “bahan bakar” bagi penulis novel (seperti ustadz Habiburrahman El-Shirazy) atau production house (seperti Fullframe Pictures Indonesia yang memproduksi CCP) untuk terus berdakwah via kedua medium tersebut. Saya jadi teringat kutipan Walt Disney, sebagai berikut.
“Kami tidak membuat film untuk mendapat uang, tapi kami menghasilkan uang untuk membuat film lebih banyak lagi.” (Walt Disney).
Bicara novel dan film islami, boleh kita sebut beberapa judul, semisal, Ketika Cinta Bertasbih (KCB), Bulan Terbelah di Langit Amerika, Negeri 5 Menara, dan yang terakhir akan memasuki gedung bioskop adalah Cahaya Cinta Pesantren.
Kedua yang terakhir cukup menarik, mengingat protagonist-nya adalah para remaja. Dengan sendirinya, novel ini kemudian menyasar para remaja dan tidak lupa kehidupan religi remaja-remaja tersebut.
Film ini cocok untuk anda yang sudah menjadi orang tua. Mungkin pernah terbersit pikiran untuk menyekolahkan putra-putri di pesantren. Khususnya karena alasan pendidikan agama.
Namun, belum ada bayangan seperti apa pendidikan di pesantren? Nah, film ini menggambarkan setiap detil kehidupan di pondok pesantren secara jelas.
Atau, anda pernah mengenyam pendidikan di pesantren? Film ini juga cocok untuk Anda, karena membuat Anda bernostalgia dengan kehidupan di masa sekolah dulu. Apalagi bila membanding-bandingkan dengan seperti apa pondok pesantren modern saat ini.
Negeri 5 Menara bercerita tentang tokoh pria yang merantau jauh-jauh dari ranah minang untuk menempuh pendidikan di pondok pesantren (ponpes) putra di Ponorogo.
Sementara Cahaya Cinta Pesantren (CCP) berpusat pada tokoh perempuan yang menempuh pendidikan di sebuah ponpes putri di kota Medan. Di mana, pasca kelulusannya, tokoh ini turut berkehidupan di seputar ponpes tersebut.
Situasi social yang rumit misalnya, manakala ayah dari tokoh utama, yaitu Marshila Silalahi (Shila) di novel CCP, berpulang ke rahmatullah. Sementara Shila sendiri masih bersekolah di ponpes.
Atau, ketika Shila divonis menderita kanker otak, sementara ada risiko kegagalan operasi yang menghadang di depan mata.


Ending CCP seperti apa? Saya juga belum tahu. Karena belum tentu semua isi novel akan difilmkan, ‘kan? Pasti ada fragmen-fragmen novel yang tidak kita lihat visualisasinya di bioskop.
Terus terang, saya antusias sekali dengan film seperti ini. Sebab mendeskripsikan bagaimana belajar tentang agama dan kehidupan di sekolah berasrama.
Tidak sabar menanti penayangan perdananya sejak awal November 2016 nanti.

Pesantren Modern & Cahaya Cinta Pesantren

Saya tidak cukup yakin bahwa kita semua yang bertempat tinggal di Indonesia, paham mengenai institusi pesantren, serta bagaimana sebenarnya pesantren sudah sangat dekat (tidak hanya kedekatan jarak) terhadap keseharian kita.
Berawal dari kebutuhan “cangkul-mencangkul” di “sawah”, akhirnya saya terdampar untuk melakukan riset sekunder mengenai sejarah dan keberadaan institusi pesantren. Sebelumnya saya memohon maaf karena tulisan ini tidak panjang-panjang amat, malah pendek sekali. Bahkan menyentuh ribuan kosakata pun tidak. Jadi mungkin belum cukup komprehensif.


Sejarah Pesantren

Secara definitif, KH. Imam Zarkasyi (satu dari tiga pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor bersama KH. Ahmad Sahal, dan KH. Zainuddin Fananie), mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam dibawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.
Institusi pendidikan pesantren, berikut dengan alumninya, turut serta mengambil bagian dalam sejarah perjuangan dan pertahanan kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk yang belum mengetahui, sesungguhnya peristiwa 10 November 1945 tidak lepas dari peran pesantren, santri, dan alumni. Betapa semangat berkobar-kobar memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan merupakan realisasi dari proses pembentukan karakter di institusi pesantren.
Namun demikian, dengan berbagai dinamika yang ada, bila dibandingkan dengan periode di mana pesantren Gontor baru berdiri, yaitu lebih dari satu abad yang lalu, (persisnya tahun 1926 Masehi) kini pesantren juga turut berbenah dan berubah demi mengikuti pesatnya perkembangan zaman. Alasannya jelas.

Modernisasi Pesantren

Dunia yang terus berevolusi menjadi semakin beragam dan bervariasi, menjadikan tantangan berdakwah semakin berat. Pesantren sudah sejak lama menyadari dan memahami betul bahwa sebagai institusi pendidikan, pesantren harus bisa ikut berselancar dalam gelombang perubahan-perubahan tersebut.
Perilaku dan pengetahuan seputar keagamaan saja tidak akan cukup untuk mengarungi derasnya kehidupan pasca pesantren. Akhirnya bertambahlah ilmu-ilmu seputar sains, teknologi, bisnis, bahasa, dan kewirausahaan ke dalam pola pendidikan dan kurikulum pesantren.
Sejak itu lahirlah terminologi pesantren modern.
Namun, jangan disalahartikan. Karakter berbasis keislaman tetap menjadi yang pertama dan utama, namun ilmu dan keterampilan seputar sains, teknologi, bisnis, bahasa, kewirausahaan menjadi ilmu dan keterampilan yang turut melengkapi profil alumni pesantren modern.
(Tanpa mengurangi rasa hormat pada pesantren-pesantren tradisional (yaitu yang hanya memfokuskan pada pendidikan keagamaan dan kehidupan), dikotomi pesantren modern dan pesantren tradisional ini sesungguhnya hanyalah perspektif sejarah saja. Jangan pula disimpulkan bahwa pesantren tradisional lebih buruk daripada pesantren modern.)
Bahkan santri turut mendapatkan berbagai program-program ekstrakulikuler berupa kegiatan pramuka, latihan berpidato dalam tiga bahasa (Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, dan Bahasa Inggris) serta program-program lainnya.
Modernisasi pesantren sesungguhnya tidak hanya di tataran program, bahkan formalisasi pendidikan pesantren menjadi seperti SD, SMP, MTs, SMA, MA Plus Pesantren, tidak luput pula menjadi bagian dari agenda perubahan-perubahan internal di institusi pesantren.

Apa saja yang diperoleh dari pendidikan di Pesantren?

Pertama.
Iya, pastinya banyak belajar ilmu agama. Tapi ilmu apa aja yang dipelajari? Yaitu, pelajaran-pelajaran pokok, seperti bahasa arab, kitab, hadits, tafsir (cara menafsirkan), akhlak (budaya dan perilaku), siroh (sejarah Islam), ilmu alat, dan masih banyak lagi.
Metode yang digunakan tidak hanya melalui pembelajaran di kelas, tetapi juga melalui kegiatan dan pembiasaan. Misalnya shalat wajib di masjid, kegiatan belajar kelompok bersama ustadz, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah melatih disiplin dan konsistensi dalam menjalankan amalan ibadah.
Selama menempuh pendidikan di pesantren, ada juga penekanan pada nilai-nilai kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri dari hawa nafsu. Ini adalah pembentukan mental, yang biasanya dilakukan melalui bimbingan langsung pada kelompok belajar di malam hari.
Kedua. 

Pesantren telah, sedang, dan akan terus berperan sebagai wahana berinteraksi dengan banyak teman dari berbagai daerah dan suku. Tentu ini sangat menunjang kebutuhan para santri/santriwati akan jaringan atau relasi nanti ketika sudah lulus dari pesantren.
Dalam hal ini, santri — yang di kemudian hari akan menjadi alumni – akan banyak mempunyai jaringan atau relasi dari berbagai daerah, luar pulau bahkan dari luar negeri. Dan itulah yang di kemudian hari akan menjadi salah satu modal dalam menapaki tangga karir.
Sekedar contoh, Menteri Agama kita saat ini, yakni Bapak Lukman Hakim Saifuddin. Beliau adalah alumni dari pesantren Gontor di Ponorogo.
Atau Bapak Hidayat Nur Wahid. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang ke-11, menjabat sejak Oktober 2004 sampai dengan Oktober 2009. Merupakan deklarator dan Presiden Kedua Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sempat menjadi calon Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2012.
Ketiga.
Secara singkat pesantren bisa juga dikatakan sebagai laboratorium kehidupan, tempat para santri belajar hidup dan bermasyarakat dalam berbagai segi dan aspeknya. Karena pesantren melatih hidup mandiri. Santri harus menyelesaikan urusan pribadinya sendiri. Menjadwal makannya sendiri. Cuci baju sendiri. Pendeknya, mengatur kehidupannya sendiri.
Tak lengkap rasanya membahas sejarah pesantren, tanpa mengulas satu contoh pesantren modern yang paling disegani dan dihormati. Yakni pesantren Gontor.

Afiliasi dan “Keturunan” Pesantren Gontor.

Mengapa Gontor?
Ditinjau dari perspektif marketing (pemasaran), Gontor telah menjadi sebuah brand yang memberikan promise (janji) akan kualitas proses dan hasil pendidikannya. Dan tidak hanya Gontor Ponorogo dan Ngawi yang demikian, namun berikut pula bersama afiliasi dan keturunannya.
Jadi, saat ini pesantren Gontor sudah berafiliasi dengan banyak sekali pesantren-pesantren baru yang lebih muda usianya.
Belum termasuk “keturunan-keturunan” Gontor, yakni pesantren-pesantren dengan “isi” dan “kemasan” yang relatif sama dengan Gontor itu sendiri. Tidak lain dan tidak bukan karena didirikan oleh alumni-alumni Gontor.
Misalnya ada pesantren La Tansa, yang pola pendidikan beserta kurikulumnya juga sudah sangat Gontor sekali. Atau di Medan ada Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah. Ponpes yang terakhir disebut ini menjadi tempat berlangsungnya syuting film Cahaya Cinta Pesantren (CCP).

Cahaya Cinta Pesantren

Film ini berangkat dari novel yang ditulis oleh guru matematika di ponpes tersebut. Yaitu, Ibu Ira Madan. Beliau menuangkan pengalaman, rasa cinta, dan kreativitasnya ke dalam sebuah novel yang diberi judul sama. Hanya satu dan satu-satunya yang menjadi motivasi beliau adalah kecintaan dan kebanggaan terhadap pesantren tempat beliau dulu belajar tentang agama dan kehidupan.


Fokus cerita CCP ini ada pada tokoh Shila yang diperankan oleh artis Yuki Kato. Diceritakan bahwa dia bersahabat dekat dengan Manda (oleh Febby Blink), Asiyah (Silvia Blink), dan Icut (Vebby Palwinta) selama menempuh pendidikan di pesantren.
Tentu saja filmnya tidak hanya berpusat pada kehidupan Shila berikut dengan tiga sahabat karibnya selama di pesantren. Melainkan betul-betul mengeksplorasi kehidupan maupun pendidikan di pesantren.
Misalnya program belajar berpidato, kegiatan kepramukaan, belajar bahasa di kelas formal, sampai dengan latihan beladiri, dan lain sebagainya.
Mulai awal November 2016 nanti, film ini bisa kita saksikan di bioskop-bioskop langganan di kota tempat kita tinggal.
Produser, sutradara, dan penulis novel CCP, punya harapan tersendiri akan film ini.
Ketiganya berharap agar  film ini sedikit menjawab keingintahuan dan ketidaktahuan masyarakat kita mengenai kehidupan di pesantren. Sebagaimana dipaparkan di awal, bahwa sepertinya masih banyak sekali di masyarakat kita yang belum cukup mengetahui seperti apa jalannya pendidikan di pesantren. Terutama bahwa pesantren tidak lagi mengungkung para santri/santriwati dari perkembangan zaman.
Itu adalah satu segmen, masih ada satu segmen yang menjadi target. Yakni, para alumni dari berbagai pondok pesantren di seluruh penjuru Indonesia. Lewat film ini, juga berharap kenangan dan kerinduan akan kehidupan pesantren yang dahulu pernah dijalani dengan segala suka dan dukanya, segera tuntas terjawab.