Part 3 : Awal Pergerakan Santri
Menguatnya pengaruh pesantren di hindia belanda karena para ulama telah membangun suatu jaringan baik lokal maupun internasional. Dalam sepuluh tahun akhir abad ke-19 dan memasuki abad ke-20, merupakan sebuah kurun waktu yang sangat penting. Jalur perhubugan yang menghubungkan asia-eropa semakin mudah dan cepat dengan dibukanya terusan suez yang membelah benua asia dan afrika. pada kurun waktu ini, di hindia belanda terjadi volume perjalanan haji.
Dengan meningkatnya jumlah jamaah haji, menunjukan bahwa perkembangan dan kesadaran berbagai pemikiran mengenai islam di timur tengah dapat seacara paham baru mengenai ajaran islam.
Pengaruh dan pemikiran islam dari arab tidak hanya dibawa oleh penduduk yang menunaikan ibadah haji, melainkan juga dibawa oleh kalangan muda islam yang sedang dan pulang dari belajar islam di jazirah arab dan sekitarnya. Mereka ini kebanyakn kalangan muda yang memiliki latar belakang santri atau berasal dari lingkungan pondok-pondok pesantren. Berbagai literatur tentang pemikiran islam yang dibaca dan didapatkan dari guru-guru di timur tengah membuat mereka tumbuh menjadi sosok yang memiliki pemahaman dan wawasan yang terbuka tentang islam. Beberapa nama yang bisa dicatat diantaranya: syeikh Nawawi al-Bantani (Banten), syeih Mahfudz at-Tarmisi (Termas, Pacitan), syeikh Ahmad Khatib Sambas (kalimantan), kyai abdul gani (bima), kyai arsyad banjar, kyai abdul shomad (palembang), kyai kholil bangkalan, dan sebagainya.
Pada tahun 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah organisasi islam modernis dan pembaharu yaitu persyerikatan Muhammadiyyah. Setahun sebelum pendirian organisasi Muhammadiyyah, pada tahun 1911 KH. Ahmad Dahlan telah mendirikan sebuah sekolah dasar di lingkuang kraton Yogyakarta.
Pada tahun 1914 KH. Wahab Chasbullah bersama KH. Mas Mansyur mendirikan sebuah kelompok diskusi yang diberi nama tashwirul afkar atau potret pemikiran. Kemudian KH. Wahab Chasbullah juga membentuk Islam Study Club di surabaya. Selain berhasil menarik kalangan pemikir islam tradisional, keberadaannya juga menarik minat para tokoh pergerakan lain termasuk para tokoh nasionalis-sekuler seperti pendiri dan pemimpin organisasi budi utomo, dr. Sutomo. Kemudian mendirikan kelompok kerja yang dinamakan nahdlatul wathan atau kebangkitan tanah air. Pergerakan ini melahirkan madrasah dengan corak nasionalis-moderat yang tersebar di daerah-daerah jawa timur dan dipimpin langsung oleh kedua kyai itu.
KH. Wahab terus bergerak, pada periode 1920-an bersama Abdullah Ubaid berinisiatif membentuk sebuah organisasi pemuda muslim dengan nama syubbanul wathon (pemuda tanah air) di surabaya.
Atas kesepakatan para ulama pesantren, akhirnya terbentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada tahun 1926 di kota surabaya, organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai rais akbar.
Pada periode kolonial, pihak yang selalu konsisten anti kolonial adalah para ulama-santri sehingga mereka terus menjaga tradisi perlawanan melawan kolonial. Tradisi perlawanan ini tidaklah hanya didasarkan pada pembelaan terhadap salah satu pihak, tetapi karena tindakan kolonial Belanda yang menindas dan mengganggu tegaknya agama Islam. Banyak ulama-santri yang tidak pernah padam melakukan perlawanan terhadap kolonial sehingga meledakkan perang besar sepanjang sejarah, yaitu Perang Jawa Diponegoro. Pasukan Pengaran Diponegoro selain terdapat para bangsawan juga dipenuhi para ulama-santri dari berbagai penjuru Jawa. Para ulama-santri itulah yang di kemudian hari meneruskan perjuangannya ketika Pangeran Diponegoro ditangkap. Kyai Abdullah Salam Jombang, Kyai Umar Semarang, Kyai Abdurrauf Magelang, Kyai Yusuf Purwakarta, Kyai Muta’ad Cirebon, Kyai Hasan Basyari Tegalsari Ponorogo dengan muridnya Kyai Abdul Manan Pacitan adalah nama-nama pionir terbentuknya kembali jaringan ulama nusantara baik di tingkat lokal maupun internasional. Di akhir abad 19 muncullah Syekh Nawawi Banten yang meneruskan perjuangan Syekh Yusuf Al-Makassari, Kyai Sholeh Darat yang meneruskan perjuangan ayahnya Kyai Umar Semarang, Sykeh Mahfuzh At-Tirmasi, cucu Kyai Abdul Manan, yang meneruskan perjuangan Kyai Hasan Besyari, Kyai Abdul Djamil dan Kyai Abbas Buntet-Cirebon yang meneruskan perjuangan Kyai Muta’ad, dan Syekh Hasyim Asy’ari serta Kyai Wahab Hasbullah keturunan Kyai Abdus Salam Jombang, dan masih banyak ulama lainnya. Ulama-ulama tersebut telah berhasil membangun jaringan ulama Nusantara yang menjahit keterkaitan hubungan antara guru-murid yang memiliki kontribusi penting bagi terbangunnya pergerakan nasional menegakkan negara dan bangsa Indonesia.
Di saat Perang Dunia II meletus dan Jepang menguasai Hindia Belanda, para ulama terus berijtihad agar kemerdekaan RI segera terwujud. Memanfaatkan kelemahan Jepang yang terjepit oleh sekutu meski penindasan Jepang begitu kejam terhadap rakyat, para ulama mencoba membangun persiapan-persiapan menyongsong kemerdekaan. Jepang memahami, kalangan Islam sangat penting dan memiliki posisi strategis, karenanya Jepang berupaya merangkul Islam, khususnya Islam-tradisional. Dalam konteks inilah laskar Hizbullah dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan RI dan mempertahankannya.
Pada tanggal 22 Oktober 1945 ditetapkan seruan Resolusi Jihad yang dihasilkan oleh santri-ulama pondok pesantren dari berbagai propinsi Indonesia yang berkumpul di Surabaya. Resolusi Jihad ini dikumandangkan sebagai jawaban para tokoh ulama pesantren yang didasarkan atas dalil agama Islam yang mewajibkansetiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahakan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah. Resolusi jihad tersebut tidak semata-mata dimaksudkan sebagai perjuangan membela agama Islam saja, tetapi juga membela kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Dengan berbekal fatwa jihad yang diteguhkan dalam Resolusi Jihad tersebut, para pejuang pantang mundur menolak kedatangan kolonial. Resolusi Jihad tersebut menyeru seluruh elemen bangsa khususnya umat Islam untuk membela NKRI. Pertempuran 10 November 1945 meletus, laskar ulama santri dari berbagai daerah di garda depan pertempuran. Resolusi Jihad juga membahana di Semarang dan sekitarnya, bahkan telah mengiringi keberhasilan dalam Perang Sabil Palagan Ambarawa. Para laskar ulama santri juga terus melakukan pertempuran mempertahankan daerahnya masing-masing termasuk di tanah Pasundandan daerah-daerah lainnya
Kirprah santri dalam membela negara tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada tahun 1943-1945 hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar, dan yang paling populer adalah laskar hisbullah dan sabilillah.
Pada kurun waktu tersebut kegiatan pondok pesantren adalah berlatih perang danolah fisik. Bahkan peristiwa-peristiwa pelawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial, pada umumnya dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji.
Pada 21 oktober 1945, berkumpul para kiai se-jawa dan madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatur Oelama). Setelah rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 oktober 1945 dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”.
Laskar hizbullah dan sabilillah didirikan menjelang akhir pemerintahan jepang, dan mendapat latihan kemiliteran di cibarusah, sebuah desa di kabupaten bekasi, jawa barat. Laskar hizbullah berada di bawah komando spiritual KH. Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin. Adapun laskar sabilillah dipimpin oleh KH. Masykur.
Dengan meningkatnya jumlah jamaah haji, menunjukan bahwa perkembangan dan kesadaran berbagai pemikiran mengenai islam di timur tengah dapat seacara paham baru mengenai ajaran islam.
Pengaruh dan pemikiran islam dari arab tidak hanya dibawa oleh penduduk yang menunaikan ibadah haji, melainkan juga dibawa oleh kalangan muda islam yang sedang dan pulang dari belajar islam di jazirah arab dan sekitarnya. Mereka ini kebanyakn kalangan muda yang memiliki latar belakang santri atau berasal dari lingkungan pondok-pondok pesantren. Berbagai literatur tentang pemikiran islam yang dibaca dan didapatkan dari guru-guru di timur tengah membuat mereka tumbuh menjadi sosok yang memiliki pemahaman dan wawasan yang terbuka tentang islam. Beberapa nama yang bisa dicatat diantaranya: syeikh Nawawi al-Bantani (Banten), syeih Mahfudz at-Tarmisi (Termas, Pacitan), syeikh Ahmad Khatib Sambas (kalimantan), kyai abdul gani (bima), kyai arsyad banjar, kyai abdul shomad (palembang), kyai kholil bangkalan, dan sebagainya.
Pada tahun 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah organisasi islam modernis dan pembaharu yaitu persyerikatan Muhammadiyyah. Setahun sebelum pendirian organisasi Muhammadiyyah, pada tahun 1911 KH. Ahmad Dahlan telah mendirikan sebuah sekolah dasar di lingkuang kraton Yogyakarta.
Pada tahun 1914 KH. Wahab Chasbullah bersama KH. Mas Mansyur mendirikan sebuah kelompok diskusi yang diberi nama tashwirul afkar atau potret pemikiran. Kemudian KH. Wahab Chasbullah juga membentuk Islam Study Club di surabaya. Selain berhasil menarik kalangan pemikir islam tradisional, keberadaannya juga menarik minat para tokoh pergerakan lain termasuk para tokoh nasionalis-sekuler seperti pendiri dan pemimpin organisasi budi utomo, dr. Sutomo. Kemudian mendirikan kelompok kerja yang dinamakan nahdlatul wathan atau kebangkitan tanah air. Pergerakan ini melahirkan madrasah dengan corak nasionalis-moderat yang tersebar di daerah-daerah jawa timur dan dipimpin langsung oleh kedua kyai itu.
KH. Wahab terus bergerak, pada periode 1920-an bersama Abdullah Ubaid berinisiatif membentuk sebuah organisasi pemuda muslim dengan nama syubbanul wathon (pemuda tanah air) di surabaya.
Atas kesepakatan para ulama pesantren, akhirnya terbentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada tahun 1926 di kota surabaya, organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai rais akbar.
Pada periode kolonial, pihak yang selalu konsisten anti kolonial adalah para ulama-santri sehingga mereka terus menjaga tradisi perlawanan melawan kolonial. Tradisi perlawanan ini tidaklah hanya didasarkan pada pembelaan terhadap salah satu pihak, tetapi karena tindakan kolonial Belanda yang menindas dan mengganggu tegaknya agama Islam. Banyak ulama-santri yang tidak pernah padam melakukan perlawanan terhadap kolonial sehingga meledakkan perang besar sepanjang sejarah, yaitu Perang Jawa Diponegoro. Pasukan Pengaran Diponegoro selain terdapat para bangsawan juga dipenuhi para ulama-santri dari berbagai penjuru Jawa. Para ulama-santri itulah yang di kemudian hari meneruskan perjuangannya ketika Pangeran Diponegoro ditangkap. Kyai Abdullah Salam Jombang, Kyai Umar Semarang, Kyai Abdurrauf Magelang, Kyai Yusuf Purwakarta, Kyai Muta’ad Cirebon, Kyai Hasan Basyari Tegalsari Ponorogo dengan muridnya Kyai Abdul Manan Pacitan adalah nama-nama pionir terbentuknya kembali jaringan ulama nusantara baik di tingkat lokal maupun internasional. Di akhir abad 19 muncullah Syekh Nawawi Banten yang meneruskan perjuangan Syekh Yusuf Al-Makassari, Kyai Sholeh Darat yang meneruskan perjuangan ayahnya Kyai Umar Semarang, Sykeh Mahfuzh At-Tirmasi, cucu Kyai Abdul Manan, yang meneruskan perjuangan Kyai Hasan Besyari, Kyai Abdul Djamil dan Kyai Abbas Buntet-Cirebon yang meneruskan perjuangan Kyai Muta’ad, dan Syekh Hasyim Asy’ari serta Kyai Wahab Hasbullah keturunan Kyai Abdus Salam Jombang, dan masih banyak ulama lainnya. Ulama-ulama tersebut telah berhasil membangun jaringan ulama Nusantara yang menjahit keterkaitan hubungan antara guru-murid yang memiliki kontribusi penting bagi terbangunnya pergerakan nasional menegakkan negara dan bangsa Indonesia.
Di saat Perang Dunia II meletus dan Jepang menguasai Hindia Belanda, para ulama terus berijtihad agar kemerdekaan RI segera terwujud. Memanfaatkan kelemahan Jepang yang terjepit oleh sekutu meski penindasan Jepang begitu kejam terhadap rakyat, para ulama mencoba membangun persiapan-persiapan menyongsong kemerdekaan. Jepang memahami, kalangan Islam sangat penting dan memiliki posisi strategis, karenanya Jepang berupaya merangkul Islam, khususnya Islam-tradisional. Dalam konteks inilah laskar Hizbullah dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan RI dan mempertahankannya.
Pada tanggal 22 Oktober 1945 ditetapkan seruan Resolusi Jihad yang dihasilkan oleh santri-ulama pondok pesantren dari berbagai propinsi Indonesia yang berkumpul di Surabaya. Resolusi Jihad ini dikumandangkan sebagai jawaban para tokoh ulama pesantren yang didasarkan atas dalil agama Islam yang mewajibkansetiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahakan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah. Resolusi jihad tersebut tidak semata-mata dimaksudkan sebagai perjuangan membela agama Islam saja, tetapi juga membela kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Dengan berbekal fatwa jihad yang diteguhkan dalam Resolusi Jihad tersebut, para pejuang pantang mundur menolak kedatangan kolonial. Resolusi Jihad tersebut menyeru seluruh elemen bangsa khususnya umat Islam untuk membela NKRI. Pertempuran 10 November 1945 meletus, laskar ulama santri dari berbagai daerah di garda depan pertempuran. Resolusi Jihad juga membahana di Semarang dan sekitarnya, bahkan telah mengiringi keberhasilan dalam Perang Sabil Palagan Ambarawa. Para laskar ulama santri juga terus melakukan pertempuran mempertahankan daerahnya masing-masing termasuk di tanah Pasundandan daerah-daerah lainnya
Kirprah santri dalam membela negara tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada tahun 1943-1945 hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar, dan yang paling populer adalah laskar hisbullah dan sabilillah.
Pada kurun waktu tersebut kegiatan pondok pesantren adalah berlatih perang danolah fisik. Bahkan peristiwa-peristiwa pelawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial, pada umumnya dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji.
Pada 21 oktober 1945, berkumpul para kiai se-jawa dan madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatur Oelama). Setelah rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 oktober 1945 dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”.
Laskar hizbullah dan sabilillah didirikan menjelang akhir pemerintahan jepang, dan mendapat latihan kemiliteran di cibarusah, sebuah desa di kabupaten bekasi, jawa barat. Laskar hizbullah berada di bawah komando spiritual KH. Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin. Adapun laskar sabilillah dipimpin oleh KH. Masykur.